Rabu, 09 Desember 2015

Seratus enam puluh delapan hari setelah perpisahan kita

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Sembilan Puluh Delapan Hari Tanpamu

Malam ini, aku sedang merangkul kekasihku di depan balkon kamar kosku. Kami memandangi hujan di langit Depok. Tidak ada kehangatan di sini. Pikiranku kosong. Sisa perayaan kecil-kecilan ulang tahunku masih ada di meja balkon. Kue ulang tahun yang sisa sedikit, beberapa botol soft drink, dan asbak penuh asap rokok milik teman-temanku. Di hari ulang tahunku yang ke dua puluh empat dan aku merasa semua hampa. Gadis di sampingku masih terus mengucapkan doa-doa sederhananya, doa yang berisi tentang kebahagiaanku, yang dia harapkan ada sosoknya dalam setiap kebahagiaanku. 

Derasnya hujan berubah jadi rintik-rintik. Dalam dinginnya malam seperti ini, aku berharap kamulah gadis yang aku peluk di tengah hari bahagiaku. Sedihnya hatiku tak mampu lagi ditolong sebungkus rokok yang telah aku habiskan seharian ini. Aku  merindukanmu, sungguh. Dan aku masih berharap kamu tiba-tiba berada di depan pagar kosku, tidak perlu ada kue ulang tahun ataupun kado, aku hanya ingin melihatmu. Melihat gadis yang tidak aku ketahui bagaimana wajahnya sekarang. Mungkin, kamu lebih menggemaskan, atau senyummu tentu jauh lebih mudah untuk dirindukan. Aku masih terdiam sementara kekasihku masih terus merancau tak tentu arah.

Memang, pesan singkatmu tadi pagi sedikit mengobati rinduku, walaupun tak sepenuhnya mengobati. Ucapanmu melalui pesan singkat itu cukup membuatku merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, hari ulang tahunku tidak sesedih yang aku harapkan. Kamu ternyata masih mengingatnya, seperti aku yang masih mengingat hari ulang tahunmu di tanggal delapan Desember itu. Tapi, aku tidak seberani kamu. Di hari bahagiamu, di umurmu yang ke dua puluh satu, aku tidak mengucapkan doa ataupun pesan singkat yang aku kirim padamu. Karena aku tidak seberani itu, karena aku pengecut, karena aku pecundang, karena kalau kekasihku sampai tahu-- dia tentu akan memakimu. Aku tidak ingin mendengar makiannya tentangmu, aku tidak ingin mendengarkan ucapan-ucapan tidak menyenangkan yang keluar dari bibirnya tentangmu, karena semakin dia memakimu semakin aku menyadari bahwa bukanlah gadis seperti dia yang aku cari. Kamulah satu-satunya yang aku cari meskipun pada akhirnya aku memilih untuk melepaskanmu pergi.

Dwita, delapan Desember kemarin, usiamu telah dua puluh satu tahun, dan hari ini aku berusia dua puluh empat tahun. Lihatlah, ada banyak hal yang berbeda. Kita semakin menua dan aku takut menerima kenyataan bahwa mungkin aku akan menua serta melanjutkan hidupku bersama orang yang salah. Aku takut menerima kenyataan bahwa mungkin aku tidak menghabiskan sisa umurku bersamamu. Aku takut jika setahun ke depan, dua tahun ke depan, hingga tahun-tahun berikutnya diisi oleh penyesalan-penyesalan bodoh karena telah melepaskanmu pergi. Aku takut hari-hariku diisi hanya dengan rasa bersalah karena sebagai pria-- aku tidak mampu membahagiakanmu.

Aku takut jika aku menua tanpa rasa bahagia. Aku takut selamanya hidupku hanya diisi untuk melindungi kekasihku yang tidak sepenuhnya aku cintai ini. Aku takut jika duniaku masih penuh tentangmu sementara dalam duniamu tentu sudah tidak ada aku berotasi di sana. Dwita, kalau boleh aku mengaku, dalam rangkulan kekasihku, tidak aku temukan kebahagiaan apapun. Aku tidak mengerti mengapa setiap aku merangkul dan memeluknya, aku malah merasa bahwa semakin hari aku semakin dekat ke dalam neraka yang seharusnya aku jauhi. Aku tidak mengerti mengapa dia tidak bisa memberi pelukan yang hangat sehangat pelukmu. Aku tidak mengerti mengapa kekasihku tidak bisa meneduhkan diriku seperti kamu meneduhkan diriku saat sekejap aku melihat matamu. Aku tidak mengerti mengapa aku semakin merasa kehilangan kamu justru di saat kita tidak lagi bersama.

Ketakutan-ketakutan itu membuat aku semakin cepat menghabiskan sebatang rokok di jemariku. Aku izin melepaskan rangkulan peluk kekasihku dan memasuki kamar kosku. Wajah cemberutnya seketika terlihat masam ketika aku memutuskan untuk meninggalkan dia beberapa saat. Aku masuk ke kamar kosku. Membuka laptopku. Memutar lagu Taylor Swift kesukaanmu. Seketika aku memejamkan mata, seandainya kamu ada di sini. Seandainya kamu ada di sini. Kubuka sisa-sisa foto kita yang telah aku hapus dari ponsel, namun diam-diam aku simpan di laptopku.

Lihatlah matamu itu, sinar mata kesukaanku. Lihatlah senyum kebahagiaan kita dulu, betapa aku ingin memutar ulang waktu agar bisa terus bersamamu. Lihatlah caramu menatapku dengan tatapan mendalam itu, aku tahu betapa dulu kita sangat jatuh cinta. Dan suara Taylor Swift masih menggema di kamar kosku, yang membuatku semakin pedih mengingatmu. Kututup wajah dan foto-foto kita. Aku kencangkan volume lagu Taylor Swift kecintaanmu. Kemudian, aku menghampiri kekasihku di luar balkon kamar kosku. Aku duduk sebentar di sampingnya, sebelum dia memelukku lebih lama lagi aku sudah ambil posisi untuk berdiri. 

Aku rapatkan tubuhku pada sandaran balkon yang menghadap ke luar pagar kamar kosku. Aku bakar lagi satu batang rokok milikku. Aku resapi setiap kali Taylor Swift berkata dan berbisik. Aku tatap dalam-dalam pagar kosku. Aku berharap kamu di sana. Aku berharap kamu di sana. Aku berharap kamu di depan pagar kosku. Mengucapkan selamat ulang tahun padaku sebelum malam berganti pagi. Sebelum hari ini berganti menjadi besok. 

Taylor Swift masih bernyanyi. Lagu Taylor Swift masih ada. Tapi kamu tidak ada.

Sabtu, 21 November 2015

Tujuh Bulan Tanpamu



#SerialTanpamu

Hari-hariku disibukan oleh menulis buku kesembilanku berjudul "Cerita Kita = Cinta", setelah buku itu terbit; aku kembali menyibukan diriku dengan tugas kuliah, dengan tugas-tugas yang membuatku lelah. Semua aku lakukan agar aku tidak punya waktu untuk mengingatmu, agar aku tidak lagi menangisimu.

Sehari setelah kamu pergi, aku merasa duniaku tidak lagi berotasi dengan normal. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa menatap senyummu, tanpa melihat sosokmu, tanpa membaca pesan singkatmu, dan tanpa mendengar suaramu. Hari-hari yang aku lewati tanpamu adalah hari-hari penuh ketakutan. Dalam hati, aku berharap kamu pulang, namun nampaknya wanita yang telah bersamamu saat ini tidak mungkin mengikhlaskan dirimu kembali padaku.

Satu minggu menangisimu, nyatanya belum cukup bagiku. Aku masih meratapi kepergianmu bahkan saat satu bulan kita berpisah. Dua bulan ketika kamu tidak lagi bersamaku, entah mengapa semua rasa sesak masih tidak beranjak. Setiap kali aku menatap salah satu sudut di FIB UI, selalu mengingatkan aku pada sosokmu. Aku ingat saat kamu membiarkan tubuhmu basah oleh hujan senja kemudian kamu menjemputku di depan salah satu kafe di FIB UI. Hingga saat ini, setiap kali aku menatap tempatmu berdiri saat itu, rasanya aku ingin memutar ulang kejadian tujuh bulan yang lalu. Saat kamu masih seutuhnya milikku, saat aku duduk di sepada motor Honda CBR-mu, saat aku memelukmu begitu erat dan kita menyanyikan lagu Taylor Swift seperti orang kesetanan saat menunggu lampu merah.

Karena tahu melupakanmu bukan perkara mudah, tiga bulan berikutnya� aku memutuskan untuk mengasingkan diri ke Uluwatu, Bali. Namun, nyatanya, bayang-bayangmu kian membesar. Semua kenangan kita, yang harusnya aku lupakan itu, justru makin membesar setiap kali aku melihat deburan ombak di pantai sekitaran Bali. Kamu menjelma menjadi apapun yang aku lihat serta aku rasa, dan aku semakin membenci diriku sendiri karena tidak mampu melupakanmu.

Sakit hatiku ternyata masih berusia panjang, di empat bulan dalam proses melupakanmu, aku masih menemukan diriku yang masih sering menangisimu. Bahkan, di lima bulan setelah kamu pergi, menariknya Wat Arun di Bangkok dan gemulai banci-banci di pementasan Alchazar, Pattaya, tidak kunjung membuat kesedihanku pergi. Cerahnya matahari di Thailand tidak memunculkan kebahagiaan apapun. Kamu masih di sini, di relung hatiku yang sepi.

Setelah enam bulan kepergianmu, aku menyadari bahwa selama ini hari-hari yang berjalan terlihat semakin menakutkan. Aku sudah melupakan rasa sakit saat pertama kali kamu tinggalkan, tapi setiap kali mengingatmu� perlahan air mataku jatuh tidak terkendali. Aku memaksa diriku untuk berubah, untuk segera melupakanmu, untuk melupakan kenangan saat kita makan sate berdua di sekitaran jalan Margonda, untuk melupakan logat Bengkulu-mu, untuk melupakan suara berisik sepeda motormu, untuk melupakan kita; tapi aku tidak bisa.

Kemarin, 20 November 2015 adalah tanggal jadian kita dulu. Selamat gagal tujuh bulan untukmu dan selamat gagal tujuh bulan karena aku tidak berhasil melupakanmu. Kini, aku merasa semakin bodoh, karena aku tidak sekuat dan seikhlas itu untuk menerima kenyataan� bahwa kita tak lagi sejalan.

Baca semua #SerialTanpamu di sini :)

Senin, 26 Oktober 2015

Telah Terbit Novel Dwitasari berjudul "Cerita Kita #SamaDenganCinta"




Judul Buku: Cerita Kita = Cinta
Penulis: Dwitasari
Penerbit: Bukune, 2015
Ketebalan: 180 halaman
Harga: Rp48.000

TELAH TERBIT
Di toko buku Gramedia, Gunung Agung, TM Bookstore, dan Togamas terdekat di kota kamu~ 

Sinopsis:

�Aku hanya ingin bertemu dan menatapmu lebih dekat. Ada sesuatu yang ingin kulihat dari wajahmu, dan mungkin sesuatu itu adalah cinta. Aku tidak yakin, tetapi paling tidak, aku telah berusaha walaupun sebatas surat seperti ini.�

Pede banget mau nemuin, lagian siapa juga yang mau? ketus Zia dalam hati. Zia yang pendiam dan tidak banyak bicara itu memang sering melakukannya. Dia banyak memendam keluhan dalam hati.

Hidup Zia mulai berubah sejak dia mendapatkan surat cinta misterius di loker sekolahnya tiap pagi. Dia tak pernah menyangka kalau surat itu justru dikirim oleh Valent, pria paling eksis di SMA Cipta Mulia yang dia sukai. 



Di sisi lain, Valent berusaha mendapatkan perhatian Zia dengan menjadi sosok yang misterius dan romantis, oleh karena itu dia meminta bantuan Lily. Lily adalah penulis muda yang karyanya diisukan plagiat. Gadis itu sempat kehilangan kepercayaan dirinya untuk menulis, tapi pertemuannya dengan Aldo mengubah semuanya.



Melalui tokoh-tokoh dalam buku ini, Dwitasari menuturkan segala hal tentang pertemuan, rindu, takut akan kehilangan, hingga rasa sakit yang dikemas dalam bentuk cerita yang saling berkaitan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya. Dan jangan lupa, kisah yang setiap tokoh dalam buku ini alami, juga adalah kisahmu. Selamat membaca kisahmu sendiri dalam buku ini!

Kamis, 15 Oktober 2015

Apakah kita akan bertemu?



Aku masih belum tidur meskipun tubuhku lelah dihabisi gerakan Yoga malam tadi. Dan, aku masih di depan laptopku, mendengarkan suara air conditioner yang makin lama membuat kamarku makin sunyi. Hidupku semakin sunyi, apalagi semenjak kamu pergi.

Mataku masih menatap layar laptop sambil terus memperhatikan barisan abjad yang harus aku koreksi ulang. Buku kedelapanku, Sama Dengan Cinta, segera terbit, buku yang aku ceritakan padamu, yang dengan bangga kausambut dengan tepuk tangan riuh. Mas, betapa aku rindu candaanmu, betapa aku rindu hangatnya perhatianmu, dan betapa aku kedinginan menantimu pulang meskipun hujan yang turun tidak akan membuatmu segera pulang ke rumahmu-- ke rumah kita.

Aku sedang membaca bagian "Pemuja Rahasia" di buku kedelapanku. Seketika, aku sedang memposisikan diriku yang memujamu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kamulah gambaran pria sempurna yang aku impikan. Manis, humoris, kulit eksotis, memesona, pandai, gondrong, mendhok, sangat Jawa sekali. Singkatnya, aku tidak bisa menolak untuk tidak mencintaimu. Kamulah jawaban dari semua doaku. Aku mengira kamulah yang akan tetap tinggal, hingga setiap doaku selalu terselip namamu, hingga setiap jantungku mendenyutkan namamu. Namun, nyatanya? Kamu pergi begitu saja, menganggapku sama seperti perempuan lainnya, memposisikan aku sebagai pemuja, bukan pencinta. Padahal, kalau boleh sedikit berbisik di telingamu, aku ingin mengatakan bahwa aku bukan sekadar fansmu, aku penggemarmu nomor satu, yang dengan senang hati; akan berjanji membahagiakanmu-- jika suatu hari kamu milikku nanti.

Kepergianmu yang tiba-tiba adalah kiamat kecil bagiku. Tahukah kamu rasanya menjadi seorang perempuan yang setiap hari menatap ponselnya hanya untuk menunggu chat-mu? Tahukah kamu rasanya jadi seseorang yang diam-diam memperhatikan seluruh sosial mediamu hanya untuk mengobati perih dan sakitnya rindu? Tahukah kamu betapa menderitanya jadi seorang gadis yang hanya bisa berprasangka, hanya bisa mengira, hanya bisa menerka bagaimana perasaanmu padaku selama ini? Tahukah kamu begitu tersiksanya hidup menjadi orang yang selalu bertanya-tanya, ke sana ke mari, mencarimu ke mana-mana, sementara kamu melenggang seenaknya seakan tidak terjadi apa-apa di antara kita? Tahukah kamu perihnya menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dahulu karena aku begitu tahu diri bahwa kita tidak pernah ada dalam status dan kejelasan? Tahukah kamu lelahnya menjadi orang yang terus berharap, terus berkata dalam hati, begitu percaya bahwa suatu hari kamu akan kembali?

"Dia pasti chat aku, kok. Satu hari lagi. Dua hari lagi. Satu minggu lagi. Dua minggu lagi. Tiga minggu lagi. Satu bulan." Dan, aku masih menghitung hari, menunggu kamu pulang, menunggu ingatanmu kembali padaku. Tahukah kamu betapa tersiksanya aku ketika kamu tidak memberi kabarmu, ketika kamu tidak menyapaku, ketika tak ada lagi percakapan di antara kita, dan ketika kamu tiba-tiba menghempaskanku ke dasar daratan, ketika kita sedang asik-asiknya terbang bersama? Katakan padaku, bahwa aku terlalu berlebihan, aku terlalu berdrama, aku terlalu membawa perasaan. Aku tidak peduli apa kata orang, mereka tidak pernah paham betapa dalamnya perasaanku, seperti kamu yang tidak pernah mengerti betapa aku mencintaimu.

Aku merindukan caramu memperlakukanku seperti perempuan Sunda, memanggilku dengan panggilan "Teteh", padahal kamu jelas tahu-- rumah simbahku dan rumah ayahku yang ada di Prawirotaman, Jogja itu. Aku rindu semua pertanyaan yang kamu lontarkan padaku di tengah-tengah kesibukanmu. Aku rindu caramu membalas pesanku dengan tergesa-gesa, lalu meninggalkanku lagi untuk beberapa jam, lalu menyapaku setelah pekerjaanmu selesai. Betapa aku rindu menit-menit singkat yang aku lewati, meskipun aku harus melewati belasan jam dalam sehari, hanya untuk enam puluh menit berharga bersamamu.

Mungkin, kamu selalu bertanya, mengapa aku bisa dengan mudah jatuh cinta padamu? Kalau aku bercerita panjang lebar, tentu ceritaku akan jadi buku kesembilanku. Dengarlah, duduklah di hadapanku, dan tatap mataku dalam-dalam. Aku sudah memperhatikanmu, bertahun-tahun, bahkan sebelum kita saling mengenal, bahkan sebelum insiden kamu salah mengirim chat, bahkan sebelum kita begitu dekat. Aku sudah menjadi pemuja rahasiamu, bahkan sebelum kita saling menyapa. Aku sudah mencintaimu jauh-jauh hari, meskipun aku tidak pernah tahu siapa dirimu, bagaimana keseharianmu, siapa saja kekasihmu, siapa saja gebetanmu. Bagiku, semua itu tak penting. Aku mencintaimu. Mencintaimu. Mencintaimu. Dan, akan terus begitu. Meskipun kamu, sekali lagi, tidak akan pernah tahu.

Aku masih menanti, suatu hari kamu akan memperlakukanku sehangat kemarin. Dan kita tertawa, bercanda, memeluk awan, meraih bintang, menari bahagia di permukaan Saturnus. Aku masih menunggu, hari-hari saat kamu kembali. Dan aku bisa rasakan hangatnya pelukmu yang dulu pernah menjadi mimpi kecilku, bisa aku rasakan desah napasmu ketika kamu berbisik di telingaku, bisa aku rasakan denyut jantungmu ketika peluk kita begitu erat hingga sulit dilepaskan, bisa aku dengar suara mendhok-mu yang menyanyikan lagu JKT48, bisa aku rasakan rapatnya jemarimu ketika memegang jemariku, dan aku bersumpah demi apapun tidak akan melepaskanmu.

Aku masih menanti, pertemuan kita yang segera terjadi. Beberapa hari lagi, aku akan ke kotamu, ke kota kita, Jogjakarta. Aku dan penerbitku menyapa para sahabat pembaca di Jogjakarta, Solo, dan Semarang; dalam acara Meet And Greet bersama Dwitasari. Sungguh, aku tidak berharap lebih. Seandainya bisa bertemu denganmu, aku hanya ingin menatap sinar matamu, mata yang entah mengapa selalu membuatku percaya, masih ada cinta di sana.

Sungguh, aku tidak berharap lebih. Keinginanku sederhana. Kita duduk berdua saja, di Alun-alun Selatan Jogjakarta. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya hati kita yang saling menghampiri. Kamu menggenggam jemariku, aku menggenggam jemarimu. Kita menghela napas sesaat, masih tak percaya bahwa pada akhirnya kita sampai di titik ini. Dulu, aku hanya bisa menatap chat-mu, namun pada akhirnya aku bisa benar-benar menatapmu. Lalu, kamu memandangiku, aku memandangimu. Kamu mendekat. Semakin dekat. Bisa aku rasakan aroma tubuhmu. Bisa aku rasakan rambut gondrongmu menyentuh wajahku. Kita.....

Beranikah? Aku menantangmu.

Dari Dwita-mu,
yang memuja kepolosanmu.

Rabu, 14 Oktober 2015

#MeetAndGreetDwitasari di SEMARANG, SOLO, JOGJAKARTA :)


Halo, SEMARANG, SOLO, JOGJAKARTA! Dateng ke #MeetAndGreetDwitasari di kota kamu, yuk! :)

Di #MeetAndGreetDwitasari bakalan ngapain aja?
1. Talkshow bareng Kak Dwitasari
2. Ngobrolin buku Kak Dwitasari
3. Tanya-jawab bareng Kak Dwitasari
4. Kepoin asal-usul buku Kak Dwitasari
5. Tanda tangan buku Kak Dwitasari

Yuk, catat tanggal dan tempat #MeetAndGreetDwitasari ya:
1. GRAMEDIA PANDANARAN (SEMARANG)
Jumat, 23 Oktober 2015 pukul 16.00 - 17.30

2. TOGAMAS SOLO (SOLO)
Sabtu, 24 Oktober 2015 pukul 14.00 - 15.30

3. TOGAMAS AFFANDI (JOGJA)
Minggu, 25 Oktober 2015 pukul 18.30 - 20.00

Acara #MeetAndGreetDwitasari ini GRATIS dan untuk UMUM! Jangan lupa daftarkan nama kamu, boleh sekalian nama temen-temen kamu yang mau dateng, ya! :) Ingat, hanya ada 200 seat.

Cara Daftar Bisa pilih salah satu di bawah ini:
1. Daftar Via SMS/WA: 0898-5080-782 (Pipit)
Format Daftarnya: Daftar_Nama_Dateng ke #MeetAndGreetDwitasari daerah mana
Contoh: Daftar_Ariana Grande_Semarang

Terima kasih dan sampai jumpa di #MeetAndGreetDwitasari

Like and share :)

Kamis, 08 Oktober 2015

Dwitasari Workshop di Malang :)


Halo, Malang! Udah pernah ngerasain belajar nulis bareng aku, talk show, curhat bareng aku, dan praktek menulis langsung bareng aku? Kalau belum, mending langsung ikutan seminar yang diadakan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang, yuk! :)

Di Seminar ini bakalan ngapain aja?
1. Dikasih motivasi supaya makin semangat nulis (oleh Pak Jefri Akbar, motivator nasional, HRD Manager PT Malindo Feedmil)
2. Langkah-langkah penulisan karya ilmiah yang baik dan yang benar (oleh Bu Heny Kusdiyanti, Dosen FE UM, Ketua Asosiasi Sarjana dan Praktisi Administrasi Perkantoran Indonesia)
3. Belajar bareng mengenai cara menulis karya fiksi (novel dan cerpen) dengan baik bersama Kak Dwitasari
4. Curhat bareng Dwitasari
5. Praktek nulis langsung bersama Dwitasari
6. Talkshow bersama Dwitasari
7. Bawa buku yang ditulis Dwitasari, ya! Bisa sekalian minta tanda tangan juga. :")

Kapan dan di mana seminar diadakan?
Tanggal: Kamis, 22 Oktober 2015 (07.00-13.00)
Tempat: Aula Gedung D4 Lt. 4, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang

Berapa Harga Tiket Masuk (HTM)?
Umum: Rp30.000
Pelajar/Mahasiswa: Rp25.000
Dapet sertifikat, makan siang, dan seminar kit :)

Pesan tiketnya ke mana?
WA/SMS: 0857-9047-1289 (Sultan)
PIN BB: 74537435
Stand Tiket depan SIGMA, Gedung E4, FE Universitas Negeri Malang

Yuk, ajak temen, sahabat, sahabat yang nusuk dari belakang, pacar, gebetan, mantan, calon mertua, buat belajar nulis bareng! :D Bisa curhat bareng Kak dwitasari juga, lho~ Hanya tersisa 200 tiket, ya! Siapa cepat, dia yang dapat! Sampai jumpa di Malang! :*

Rabu, 07 Oktober 2015

Seandainya kamu tahu

Keinginanku sederhana, bisa memelukmu begitu erat, di bawah langit Jogja, yang dihiasi kembang api malam ini. Selamat merayakan ketidakmungkinan di antara kita. Selamat ulang tahun Jogjakarta.